Bahasa Technology

Etika Bahasa AI: Apakah Mesin Bisa Mengerti Sopan Santun?

Etika Bahasa AI menunjukkan sopan santun dan memahami konteks budaya dalam komunikasi digital di Indonesia.

Pendahuluan

Kecerdasan buatan kini tidak hanya cerdas secara logika, tapi juga dituntut untuk beretika saat berbicara.
Dalam konteks bahasa Indonesia, muncul pertanyaan besar:

“Apakah mesin bisa memahami sopan santun seperti manusia?”

Di era ketika chatbot dan asisten virtual makin banyak digunakan di pelayanan publik dan bisnis, etika bahasa AI menjadi topik yang tidak bisa diabaikan.
Sebab, bagaimana mesin merespons pengguna akan memengaruhi kepercayaan dan kenyamanan masyarakat digital Indonesia.


AI dan Pentingnya Sopan Santun Bahasa

Bahasa Indonesia dikenal kaya dengan tingkatan kesopanan.
Misalnya, kata “Anda” berbeda nuansanya dengan “Kamu”, dan pemilihan sapaan bisa menentukan apakah percakapan terasa ramah atau menyinggung.

Masalahnya, sistem AI yang dilatih dengan data global sering kali tidak memahami konteks budaya lokal.
Beberapa chatbot internasional bahkan pernah menjawab secara kasar atau tidak sopan karena tidak mengenali norma sosial bahasa tertentu.

Itulah sebabnya para peneliti di BRIN dan Kominfo kini fokus pada pengembangan AI beretika linguistik, yaitu kecerdasan buatan yang bisa mengenali konteks sosial dan kesopanan dalam percakapan.


Contoh Kasus: Chatbot yang Tidak Paham Konteks

Bayangkan kamu menulis ke chatbot layanan publik dengan kalimat:

“Permisi, saya mau tanya soal pengurusan paspor.”

Namun chatbot malah menjawab kaku seperti:

“Isi formulir dan tunggu.”

Jawaban seperti ini memang faktual, tapi terasa tidak ramah.
AI yang tidak punya kesadaran konteks bisa menimbulkan kesan dingin dan membuat pengguna malas berinteraksi.

Beberapa startup lokal seperti Kata.ai dan Prosa.ai sudah mulai memperbaiki hal ini dengan menanamkan model komunikasi yang lebih human-centric — ramah, empatik, dan mengikuti norma kesopanan khas Indonesia.


Tantangan Etika Bahasa untuk AI

Membangun AI yang sopan tidak semudah mengatur tata bahasa.
Beberapa tantangan yang dihadapi peneliti antara lain:

  • Perbedaan budaya bahasa: Indonesia punya ratusan dialek dan cara berbicara.
  • Data pelatihan terbatas: Tidak semua data percakapan memiliki konteks sosial yang lengkap.
  • Kesadaran konteks: AI belum bisa memahami “nada” atau “emosi” pengguna secara mendalam.

Meski begitu, para pengembang di Indonesia terus berupaya agar sistem AI tidak hanya pintar, tapi juga menghormati nilai-nilai sosial masyarakatnya.

Baca Juga: AI di Pelayanan Publik: Chatbot Pemerintah Bikin Layanan Makin Cepat dan Efisien


Mengapa Etika Bahasa Penting?

Bahasa adalah cerminan karakter bangsa.
Jika AI berbicara dengan sopan, hal itu membantu menciptakan interaksi digital yang sehat dan membangun kepercayaan publik.

Selain itu, dalam dunia bisnis dan pelayanan publik, etika bahasa juga berdampak langsung pada kepuasan pengguna.
Chatbot yang berbicara dengan empati bisa meningkatkan tingkat kepuasan pelanggan hingga 30%, menurut survei McKinsey Digital Indonesia.


Masa Depan AI yang Paham Budaya

Bayangkan kalau nanti chatbot pemerintah bisa menyesuaikan gaya bahasa berdasarkan daerah pengguna.
Misalnya, di Jawa ia berbicara halus dengan “monggo” atau “matur nuwun”, sementara di Sumatera gayanya lebih lugas tapi tetap sopan.

Inilah arah pengembangan AI berbasis nilai budaya lokal, yang sedang digarap oleh berbagai institusi riset di Indonesia.
Teknologi seperti ini tidak hanya canggih, tapi juga mencerminkan jati diri bangsa.


Kesimpulan

AI bukan hanya soal algoritma dan data — tapi juga tentang cara berbicara.
Etika bahasa dalam AI akan menentukan bagaimana masyarakat menilai teknologi ini: sebagai alat yang membantu, atau ancaman yang dingin.

Dengan kolaborasi antara pemerintah, startup, dan peneliti lokal, Indonesia berpeluang besar menciptakan AI yang sopan, berbudaya, dan memahami manusia.
Karena teknologi yang hebat adalah teknologi yang tahu cara menghormati.